Why this posting called "positioning positioning"? i do care about my city & its tourism potency. Menyaksikan sendiri bagaimana beberapa kabupaten/kota yang menjadi peserta exhibition menggarap serius konsep 'jualan' mereka menggelitik pikiran ini untuk berproses dan memikirkan apa dan bagaimana seharusnya Kota Depok mengelola pariwisata dan menjadikan ilmu marketing sebagai dasar teori dalam mempromosikan potensi budaya dan wisata yang ada. Karena 'background' pendidikan saya adalah manajemen dengan konsentrasi marketing, saya paham konsep sederhana yang keluar dari mbah dewa-nya marketing Indonesia dan dunia Hermawan Kartajaya (HK). Dalam hal ini, orang-orang yang berkecimpung dalam mempromosikan pariwisata hendaknya mengerti konsep dasar pemasaran dari beliau, kalau memang punya niat besar untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai pendongkrak ekonomi masyarakat sepertinya teori HK bukan hal yang sulit diterapkan.
Teori STV triangle (Strategy, Tactic, Value) merupakan hal dasar yang kerap dieksekusi dalam suatu manajemen instansi/organisasi dalam 'berjualan'. Tanpa merendahkan nilai pariwisata, seni dan budaya sebagai komoditas belaka, saya menggunakan kata 'jualan' karena memang dalam era ekonomi kreatif sebagai orientasi perekonomian dunia saat ini, all we need to do is selling the concept in a right direction. Pariwisata, seni, dan budaya berdiri sebagai ujung tombak perekonomian disaat sektor-sektor lain kolaps karena krisis. Depok juga harus mampu menerapkan teori ini dalam mengembangkan sektor pariwisata nya karena di sisi lain kota/daerah lain seperti jakarta, bandung, garut, kuningan, padang, solo, jogja, bali, lombok, dan yang lainnya telah melaksanakannya dengan baik.
Di dalam komponen STV, lingkaran strategy terdiri dari segmentation, targeting dan positioning. Saya tak melihat segmentation dan targeting sebagai jawaban pembenahan karena memang segmen dan target pasar Depok sama dengan kota lainnya, yaitu masyarakat lokal, nasional, dan dunia. Positioning yang tepat merupakan hal yang patut di lakukan Depok untuk menaikan 'pangkat' sektor pariwisata lokal. Bila Bandung sudah terstigma dalam posisi 'paris van java', jakarta dengan tagline 'enjoy jakarta', garut yang tersohor dengan 'domba garut'-nya, bali dengan (u name it, bali has everything), semua kota yang pariwisata nya maju pasti telah melakukan positioning dengan tepat. Sudah terlanjur dikenal dengan istilah 'belanda depok' atau pun dengan sebuah mesjid yang ternama Kubah Emas (Mesjid Dian Al-Mahri, tujuh dari mesjid berkubah emas di dunia) , Depok juga merupakan kota pendidikan dimana Universitas Indonesia berada, Belimbing Dewa yang telah 'esteblished' menjadi 'icon' juga merupakan potensi agrowisata yang tengah digembar-gemborkan. Namun jajaran potensi ini belum lah cukup tanpa positioning yang jelas. Akan 'dipasarkan' sebagai kota yang bagaimanakah masih menjadi pertanyaan karena memang kota warisan Cornelis Chastelein ini memiliki eksotika sejarah yang belum dijadikan daya pikat wisata.
Konon berawal dari seorang Belanda Cornelis Chastelein masyarakat Depok terbentuk dari 12 marga (Bacas, Isakh, Jacob, Joseph, Jonathans, Loen, laurens, Samuel, Soedira, Tholense & Zadokh). Dari asal-usul nya saja kota ini sebenarnya sudah memiliki posisi sebagai kota wisata sejarah dengan nuansa kolonial lengkap dengan bangunan-bangunan tua khas Belanda. Ditambah lagi keunikan betawi nan kental secara kultural dengan budaya sunda sebagai jati diri administratif membuat kota ini semakin heterogen dan berkarakter. Mungkin sumberdaya pemerintah dan para stakeholder pariwisata, seni dan budaya kota ini harus belajar dari negeri seberang Singapore yang memang tak memiliki banyak keindahan 'mother nature' yang siap dijual namun dengan kejelian menangkap kebutuhan pasar akan arti wisata mereka berubah menjadi negeri impian para pelancong dunia.
Kota ini harus hati - hati dalam melakukan positioning, karena kalau salah bukan saja dicap sebagai sekedar sub-urban yang serupa dengan Bekasi tetapi juga kota yang 'abu-abu'. Topeng Cisalak dan Gong Sibolong adalah unsur intrinsik seni yang harus dijadikan dewa dalam setiap agenda wisata, karena memang kesenian inilah yang menjadi identitas salah satu kota termuda di Jawa Barat ini. Dengan kenyataan sebagai kota dengan IPM tertinggi di Jawa Barat, saya optimis pemerintah dan seluruh jajarannya akan dengan pasti mentukan konsep positioning Kota Depok dengan bijak. Kearifan lokal dan kesantunan masyarakatnya sebagai bagian dari alat pendorong majunya pariwisata Depok setelah manajemen marketing diaplikasikan dengan sempurna, seyogyanya mampu mencitrakan kota ini sebagai miniatur Indonesia yang siap 'dijual'. Dyne with love.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar