Kesehatan untuk sebagian orang adalah barang mewah yang terkadang sulit dicari, walau semua kalangan mendambakan hal ini akses mereka terhadap kesehatan tidak sama. Sebelum saya menulis posting ini, (jari-jari teramat hati-hati untuk mengetik sejumlah kalimat) pikiran melayang ke kasus Prita Mulia Sari yang sempat jadi primadona di media beberapa waktu lalu karena e-mail nya tentang layanan kesehatan di salah satu rumah sakit swasta, namun kasus Prita tak menghalangi saya untuk berceloteh tentang kesehatan dan layanan kesehatan yang seharusnya dapat diakses semua level masyarakat mulai dari presiden sampai dengan petani, mulai dari CEO sampai supir Bemo. Coba kita sempatkan untuk membaca UU tentang kesehatan, singkatnya toleh ke UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan Bab III pasal 4 yang berbunyi "Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.", rasanya memang realita tak semua sejalan dengan harapan di negeri ini, apalagi soal akses kesehatan...dan rasanya banyak orang yang setuju dengan saya.
Apa Kabar Rakyat Jelata? #1 akan saya awali dengan pengalaman saya saat Mama di rawat dengan diagnosa penyakit Radang Pankreas yang baru saat itu saya dengar. Minggu yang lalu tepatnya terhitung 5 Maret 2010 sampai dengan 11 Maret 2010, Mama diopname disalah satu rumah sakit rekanan perusahaan tempat Papa bekerja. Singkat cerita setelah diagnosa awal di UGD, mama di tes ina ini itu dengan penjelasan dokter UGD yang seadanya. Lalu setelah masuk ke kamar rawat inap, mendapatkan dokter spesialis penyakit dalam (internist), dan hasil tes kesehatan (jantung, enzim, rontgen, darah dsb) mama di diagnosa mengalami radang di pankreasnya.
Pada awalnya saya bingung, setelah satu hari dirawat papa kasih info bahwa Mama harus masuk ICU untuk menjalani tindakan medis lainnya. Sebagai orang biasa dengan latar belakang non-medical tentu saya panik dan takut, karena 'image' ICU' sangatlah tidak bersahabat dengan siapa pun apalagi orang sakit, dan pikiran pun saya batasi agar tak melayang kemana-mana memikirkan hal buruk tentang kesehatan Mama. Dengan muka 'bossy' saya bertanya ke beberapa suster yang jaga karena dokter yang menangani Mama sudah pulang, tapi jawaban mereka tak bisa memuaskan pertanyaan saya perihal Mama yang harus di ICU dan makan dengan selang berjarum yang ditusuk di lehernya. Secara kontekstuil saya belum memahami apa yang Mama derita sampai-sampai harus mendapat tindakan di ICU. Setelah mama keluar ICU pun saya masih bertanya dengan suster lainnya (lagi-lagi saya belum berkesempatan bertemu dengan dokter), dan saya menyerah dengan jawaban yang keluar dari mulut suster yang saya jumpai. Saya mulai ber-googling mencari apa yang Mama derita dan saya mendapatkannya, namun pertanyaan kenapa Mama harus (sekali) dimasukkan ke ICU masih belum memuaskan saya sampai sekarang.
Dua hari setelah dirawat, akhirnya saya bertemu dengan internist yang menangani Mama. Dengan perawakan 'dandy' dokter muda menjelaskan secara detail kepada saya yang agak terdengar 'fussy' (cerewet) dengan pertanyaan-pertanyaan (bodoh menurut mereka) layaknya rakyat biasa yang tidak tahu istilah medis yang kerap kali dokter-dokter lontarkan pada pasiennya (terkadang tanpa melihat latar belakang sosial pendidikan sang pasien). Saya bertanya layaknya murid sekolah dasar yang haus ilmu karena memang pengetahuan saya akan pankreatitis sangat minim. Setelah sang internist menjelaskan, saya baru benar-benar puas dan melengkapi internalisasi saya terhadap penyakit yang Mama derita setelah ber-google-ria. Setelah itu saya membayangkan, saya baru mendapat penjelasan dengan lengkap setelah saya melakukan beberapa usaha seperti bertanya kepada suster yang berbeda setiap kalinya, mencari info di google, dan mengajukan banyak pertanyaan kepada dokter yang menangani. Namun apa kabar rakyat biasa yang notabene tidak punya akses kesehatan?tidak punya kebernian untuk mempertanyakan diagnosa dokter?tidak memiliki akses terhadap internet dan kenal akan google?parahnya lagi apa kabar mereka yang tak punya jaminan kesehatan seperti layaknya Papa yang alhamdulillah punya jaminan kesehatan yang di berikan oleh kantornya?.....
Kepediahan akan terus berlanjut bagi rakyat biasa jika nominal uang sudah dialamatkan ke muka mereka sebagai tagihan rumah sakit yag harus mereka bayar. Mereka pasti menjerit karena ketidakberdayaan dan kebodohan yang hinggap. Keadaan ini terjadi terutama pada keadaan dimana pembiayaannya harus ditanggung sendiri (out of pocket) dalam sistim tunai (fee for service) dimana terkadang biaya untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah pontang-panting didapat. Bagaimana kalau ketidaktahuan yang ada justru malah memaksa mereka mengiyakan segala anjuran dokter/rumah sakit untuk melakukan ina ini itu yang sama sekali tidak mereka pahami karena kendala pendidikan misalnya?
Kita memang tidak bisa serta-merta menyalahkan pemerintah karena tidak bisa mensejahterakan rakyatnya atau pun tak mampu menjamin suksesnya pelayanan kesehatan masyarakat. Kalau memang kita yang rakyat biasa sudah menyadari hal ini, tentunya selain kondisi keuangan yang harus kita perbaiki adalah terus tingkatkan kesadaran kita untuk mencari tahu sejelas-jelasnya tentang penyakit atau tindakan medis yang kita/keluarga kita alami. Jangan cukup puas dan percaya sepenuhnya terhadap apa yang diperintahkan rumah sakit atau dokter sekali pun, karena sebagai pasien kita punya hak tanya dan mencari informasi selengkap-lengkapnya. Semakin lengkap informasi yang kita dapat, semakin dalam pengetahuan kita untuk mencari opsi lain dari tindakan medis yang mungkin saja lebih murah dibandingkan yang diberikan oleh rumah sakit/dokter yang menangani kita atau keluarga kita.
Mungkin saja terdapat banyak kasus malpraktek terjadi justru karena ketidaktahuan sang pasien dan keluarga, inilah pentingnya mencari banyak sumber dan referensi karena bukan hal yang mustahil jika kita/keluarga kita harus kehilangan salah satu anggota tubuh akibat perintah dokter atau oknum rumah sakit yang money oriented sehingga berbagai tindakan medis yang mungkin saja tidak perlu tapi harus kita jalani.
Rakyat Indonesia harus terbiasa tidak berpuas diri terhadap apa yang diberikan dan dikatakan di depan mata, apalagi perkara kesehatan yang tak ada serepnya. Keterbatasan pendidikan apalagi ekonomi bukan halangan pasien untuk bertanya, berkeluh, marah, dan memberikan kritik bagi rumah sakit termasuk manajemen, 'security', bagian gizi, suster dan dokter yang ada didalamnya.Saran saya untuk konteks kesehatan ini, lebih banyak lebih baik!!!