Siang ini masih terasa sama dengan siang-siang sebelumnya di Indonesia.
Ketika televisi bersuara, yang kita dengar hanyalah acara variety show yang mengandalkan gelak tawa dan joged semata.
Ketika televisi mengudara, yang kita lihat hanyalah deretan penguasa yang tak lagi peka atas amanah dan harta.
Ketika televisi bersuara, sosok-sosok yang harusnya memberi teladan kini menjamur di KPK.
Ketika televisi mengudara, yang kita rasakan hanyalah terpana karena musibah, tertegun oleh satir bencana.
Bagaimana bisa berpikir akan memilih partai, jika sebelum bulan April saja hak bahagia sudah dibantai.
Rakyat jelata ya tetap melata tanpa bisa terbang ke udara menghirup atmosfir yang biasa di hirup si-kaya.
Bagaimana bisa tidak menjadi golongan putih, jika nyata rakyat melihat hati pemimpin tak lagi bersih.
Rakyat
jelata ya tetap menjadi barisan penerima, walaupun rupiah mulai sukar
dicari tanpa bisa menghentikan harga yang tidak bisa membumi.
Apa kabar rakyat jelata?
kita terpaksa memakan riba, menelan duka, menolak suka untuk bisa menapaki sejahtera secepat-cepatnya.
Indonesia memang raksasa sebenar-benarnya, yang katanya "air dan jala cukup menghidupimu" tak lagi bisa berlagu.
Tulisan ini bukan penanda saya kecewa, tapi semoga kita semua tak akan pernah lelah berdoa.
Untuk bangsa yang masih berduka dan tetap penuh suka.
dyne with love.